Perang Dingin di Laut China Selatan: Posisi Strategis Indonesia di Ujung Tanduk

Perang Dingin di Laut China Selatan: Posisi Strategis Indonesia di Ujung Tanduk

0 0
Read Time:2 Minute, 1 Second

Eskalasi terbaru di Laut China Selatan (LCS) bukan lagi sekadar sengketa teritorial regional; ia telah berevolusi menjadi arena “Perang Dingin” baru antara dua kekuatan global, Amerika Serikat dan Tiongkok. Bagi Indonesia, yang secara teknis bukan negara pengklaim (claimant state) dalam sengketa utama, situasi ini menempatkan posisi strategis kita di ujung tanduk. Kita kini terjebak di antara dua raksasa, di mana setiap langkah diplomatik memiliki konsekuensi ekonomi dan keamanan yang sangat besar.

Secara ekonomi, Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia. Ketergantungan kita pada investasi dan ekspor ke Tiongkok sangat signifikan. Namun, di saat yang sama, klaim sepihak Tiongkok atas “sembilan garis putus-putus” (nine-dash line) secara langsung melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar perairan Natuna. Insiden kapal penjaga pantai Tiongkok yang mengawal kapal nelayan mereka di wilayah kedaulatan kita telah berulang kali memicu ketegangan diplomatik dan militer.

Di sisi lain, Amerika Serikat, bersama aliansinya seperti Australia (melalui AUKUS), terus meningkatkan kehadiran militer di kawasan dengan dalih “Kebebasan Navigasi” (Freedom of Navigation Operations). AS secara aktif merayu Indonesia untuk bergabung dalam inisiatif keamanan regional yang dirancang untuk membendung pengaruh Tiongkok. Menerima tawaran ini akan memberikan kita payung keamanan yang lebih kuat, namun berisiko merusak hubungan ekonomi vital kita dengan Beijing dan menyeret Indonesia ke dalam konflik yang bukan milik kita.

Posisi klasik Indonesia adalah politik luar negeri “bebas aktif”. Kita menolak untuk memihak dan secara konsisten menyerukan agar LCS diselesaikan melalui hukum internasional (UNCLOS 1982). Indonesia juga berusaha keras memposisikan ASEAN sebagai penengah untuk menyelesaikan Code of Conduct (CoC) dengan Tiongkok. Namun, seiring meningkatnya persaingan AS-Tiongkok, sikap netral ini menjadi semakin sulit dipertahankan dan seringkali dianggap lemah oleh kedua belah pihak.

Posisi Indonesia di Natuna kini menjadi barometer. Pemerintah meningkatkan anggaran pertahanan, memperkuat pangkalan militer di Natuna, dan melanjutkan patroli laut yang tegas. Ini adalah pesan yang jelas: kita mungkin netral dalam sengketa orang lain, tapi kita tidak akan berkompromi satu jengkal pun soal kedaulatan ZEE kita. Masa depan Indonesia di LCS bergantung pada kemampuan kita menari di antara dua gajah, tanpa terinjak.

Poin Utama:

  1. Posisi Terjepit: Indonesia (non-pengklaim) terjebak dalam “Perang Dingin” baru AS vs Tiongkok di Laut China Selatan.
  2. Dilema Tiongkok: Tiongkok adalah mitra dagang terbesar, namun melanggar kedaulatan ZEE Indonesia di Natuna.
  3. Dilema AS: AS menawarkan payung keamanan (AUKUS), namun bergabung akan mengancam ekonomi dan menyeret Indonesia ke dalam konflik.
  4. Sikap Indonesia: Mempertahankan politik “bebas aktif”, menolak memihak, dan memperkuat pertahanan militer di Natuna untuk melindungi ZEE.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %