Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) digadang-gadang sebagai strategi jitu untuk memeratakan pembangunan dan menarik investasi di luar Pulau Jawa. Dengan janji insentif fiskal (seperti tax holiday) dan non-fiskal (kemudahan perizinan), KEK dirancang menjadi oase industri di tengah daerah-daerah yang sebelumnya kurang terjamah.
Sejumlah KEK di luar Jawa, seperti Sei Mangkei (Sumatra Utara) untuk industri kelapa sawit atau Morowali (Sulawesi Tengah) untuk nikel, menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam menarik investasi raksasa. KEK ini berhasil memanfaatkan keunggulan komparatif sumber daya alam di wilayah tersebut, menciptakan lapangan kerja dan industri turunan.
Namun, banyak KEK lain yang nasibnya “hidup segan, mati tak mau”. KEK yang fokus pada pariwisata atau industri manufaktur ringan seringkali kesulitan menarik investor. Masalah utamanya adalah infrastruktur pendukung yang belum siap, seperti pelabuhan, akses jalan tol, pasokan listrik, dan ketersediaan SDM terampil di sekitar lokasi.
Tantangan terbesar adalah menciptakan ekosistem yang terintegrasi. KEK tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan konektivitas yang kuat ke rantai pasok global dan pasar domestik. Tanpa integrasi ini, KEK hanya akan menjadi “pulau industri” yang terisolasi dari ekonomi regional di sekitarnya, dan efek tetes ke bawah (trickle-down effect) bagi masyarakat lokal tidak terjadi.
Evaluasi kritis diperlukan untuk menentukan KEK mana yang layak dilanjutkan dan mana yang harus dihentikan. Pemerintah harus fokus pada penyediaan infrastruktur dasar yang vital. Daripada membangun puluhan KEK baru, lebih baik memfokuskan sumber daya untuk memastikan segelintir KEK yang strategis di luar Jawa benar-benar berfungsi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru.

