0
0
Pertanyaan filosofis ini telah diperdebatkan selama ribuan tahun. Di satu sisi, banyak faktor eksternal yang jelas memengaruhi kebahagiaan kita—kesehatan, kondisi ekonomi, dan hubungan sosial. Namun, psikologi modern, terutama psikologi positif, semakin menunjukkan bahwa kebahagiaan, pada tingkat tertentu, adalah sebuah pilihan. Ini bukan pilihan atas apa yang terjadi pada kita, tetapi pilihan atas bagaimana kita meresponsnya.
Pilihan ini terwujud dalam mindset atau pola pikir kita. Teori “set point” kebahagiaan menyebutkan bahwa kita semua memiliki tingkat kebahagiaan dasar yang ditentukan secara genetik. Peristiwa besar (menang lotre atau kecelakaan) mungkin mengubahnya sementara, tetapi kita akan kembali ke “set point” itu. Namun, penelitian menunjukkan bahwa 40% dari kebahagiaan kita ditentukan oleh “aktivitas yang disengaja”—pilihan-pilihan kecil yang kita buat setiap hari.
Pilihan-pilihan ini termasuk mempraktikkan rasa syukur (gratitude). Memilih untuk fokus pada apa yang kita miliki alih-alih pada apa yang tidak kita miliki dapat secara signifikan mengubah persepsi kita tentang kehidupan. Ini adalah latihan mental yang disengaja untuk mengalihkan fokus dari kekurangan ke kelimpahan.
Pilihan lainnya adalah mindfulness (perhatian penuh), yaitu memilih untuk hadir sepenuhnya di saat ini, alih-alih terus-menerus khawatir tentang masa depan atau menyesali masa lalu. Kebahagiaan seringkali hilang bukan karena situasinya buruk, tetapi karena pikiran kita berada di tempat lain.
Pada akhirnya, kita tidak bisa memilih untuk tidak merasa sedih, marah, atau kecewa; itu adalah emosi manusia yang valid. Namun, kita bisa memilih untuk tidak berlarut-larut di dalamnya. Kita bisa memilih untuk mencari makna, memilih untuk memaafkan, memilih untuk bersyukur, dan memilih untuk mengambil tindakan yang membangun. Kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil dari serangkaian pilihan sadar yang kita buat setiap hari.
