0
0
Industri logistik adalah urat nadi perekonomian, dan bahan bakar minyak (BBM) adalah darah yang mengalirkannya. Setiap kali terjadi kenaikan harga BBM, terutama solar, sektor logistik adalah yang pertama kali merasakan dampaknya. Efek domino dari kenaikan ini merambat ke hampir setiap aspek ekonomi, mulai dari biaya operasional truk hingga harga barang di rak-rak toko.
Dampak paling langsung adalah pembengkakan biaya operasional. BBM dapat porsinya bisa mencapai 30-40% dari total biaya perjalanan sebuah truk angkutan barang. Kenaikan harga BBM sekecil apa pun akan langsung menggerus margin keuntungan perusahaan logistik. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit: menyerap kerugian atau membebankan kenaikan tersebut kepada pelanggan (pemilik barang).
Pada gilirannya, kenaikan tarif angkutan (ongkos kirim) ini akan diteruskan ke konsumen akhir. Inilah mengapa kenaikan harga BBM hampir selalu diikuti oleh inflasi. Harga kebutuhan pokok, bahan bangunan, dan barang konsumsi lainnya akan merangkak naik karena biaya distribusi yang membengkak. Sektor logistik berperan sebagai transmisi inflasi dari kebijakan energi ke dompet masyarakat.
Untuk bertahan, perusahaan logistik dipaksa untuk lebih cerdas dalam manajemen armada. Ini termasuk optimalisasi rute untuk menghindari perjalanan kosong, perawatan kendaraan yang lebih ketat untuk menjaga efisiensi bahan bakar, dan pemanfaatan teknologi telematika (GPS tracker) untuk memantau perilaku mengemudi agar lebih irit (eco-driving).
Dalam jangka panjang, fluktuasi harga BBM yang konstan mendorong industri ini untuk mencari alternatif. Ini mempercepat minat pada adopsi truk bertenaga gas (CNG) atau, yang lebih baru, truk bertenaga listrik. Kenaikan harga BBM, meskipun menyakitkan, bertindak sebagai katalisator yang memaksa industri logistik untuk berinovasi menuju solusi yang lebih berkelanjutan.
